RSS

Menjemput Gelap

Iya menyerang membabibuta,
“Jangan sakiti dia! Jangan sakiti dia! Jangan sakiti dia!”
kalimat itulah yang selalu terucap dari kelembutan bibirnya yang indah dan terlanjur dibasahi air mata yang menodai murni bias parasnya.
“Aku mencintainya.”
Kalimat terakhir yang samar-samar terdengar oleh telingaku didalam keadaan setengah sadar setengah pingsan akibat serangan bertubi-tubi Mahluk keji dan biadab itu.
***
Aku terbangun dan terkejut,
“Ini bukan kamarku.”
Perlahan namun pasti, aku menapaki inci demi inci langkah demi langkah ruangan yang asing namun nyaman. Dingin, temaram, namun terlihat jelas sentuhan wanita dalam tata ruangnya. Rapih, bersih, dan indah.
Derap langkahku terus dan terus menapaki setiap sudut ruang hingga sampai ke bagian dapur. Mataku terpicing menelusuri seisi dapur.
“Itu dia.”
Kubuka kulas sembari meraih minuman dingin untuk menghempas dahaga di tenggorokanku.
“Fvckin..!”
Hening ketengan ruang disibak oleh teriakan ku.
Gelas yang aku pegang terjatuh, lantai penuh dengan pecahan gelas dan darah segar yang baru kutuang.
Dalam gemetar, aku duduk di kursi dekat meja makan.
Kembali hening. Aku hanya mendengar suara detak jantungku yang kian lama kian cepat, diiringi hembusan nafas yang kuusahakan tetap stabil.
“Sudah bangun rupanya.”
Aku terhentak. Refleks aku bangkit dari tempat duduk dan langsung menghadap pada sumber suara yang tidak asing bagiku.
“Ini dimana?”
“Duduklah!”
Melihat senyum kekasihku, hatiku terasa tenang sampai-sampai aku melupakan kejadian yang baru aku alami.
“Tadi aku mendengar ada suara gaduh. Aku ke kamar, kamu sudah tidak ada. Ternyata disini.”
“Tadi aku menjatuhkan gelas.”
“Oh,,, Tidak apa-apa.”
Aku terdiam sejenak.
“Ini dimana?”
“Di rumah ku.”
“Jadi,,,,,”
“Iya.”
Suasana di dalam ruangan menjadi sangat hening. Namun hatiku menjadi campur aduk, tidak karuan dan terasa seakan terbakar.
“Yang menyerang kamu tadi malam adalah saudara ku.”
Lagi, airmata ini menodai paras kekasihku. Memang aku sangat kecewa dan marah, namun aku tetap mencintainya. Aku tidak akan membiarkan ia menangis. Tak ada satu alasanpun yang membuatnya bersedih di hadapanku. Ku usap air mata yang seolah menyelubingi pancaran indah murninya wajah kekasihku ini.
“Sudah tidak apa-apa.”
“Tapi,,,,”
“Aku mencintaimu. Tak peduli apapun yang terjadi dan tak peduli apapun keadaannya.”
“Aku mencintaimu.”
Aku mengulang kalimat yang keluar dengan sangat tulus dari sudut ruang hatiku yang terdalam.
Airmata kekasihku semakin deras, namun kali ini bukan airmata yang menutupi pancaran keindahan wajahnya. Airmata kakasihku kali ini diiringi sebuah senyum yang sangat tenang yang selalu berhasil membuat hatiku merasa damai. Kecantikan alami yang sempurna. Bagai permata yang tiada henti memancarkan kilau indah sinarnya.
“Bawalah aku!”
“Tapi,,,,,”
“Aku tidak peduli. Pokoknya kamu harus bawa aku pergi.”
Hatiku kembali tidak karuan. Permintaan kekasihku untuk membawa dia pergi adalah permintaan yang sangat berat bagiku untuk melakukannya namun lebih sulit lagi bagiku untuk menolaknya.
“Apa kamu yakin?”
Ia tidak menjawab. Hanya sepasang mata tajam yang hinggap di kedua mataku. Seolah berbicara dan memaksaku untuk tidak banyak bertanya. Aku menggenggam erat tangannya, sangat erat.
***
Aku menghirup udara yang sangat familiar bagi paru-paruku. Hawa hangat dari kamar kos ku. Aku segera membukakan pintu untuk kekasihku yang terlihat kelelahan. Aku tau dia lelah sebab sepanjang perjalanan dia hampir tidak berbicara. Hanya pada saat ia ingin ke toilet ia pamit padaku dengan senyum yang di paksakan. Aku paham dan memaklumi sikapnya itu. Aku tahu, dia sedang membawa beban yang sangat berat sebab ia harus meninggalkan rumah dan keluarganya demi hidup bersamaku.
Inilah cinta. Rasa saling memiliki antara dua insan yang tak pernah ingin dipisahkan. Ada suka ada duka ditemani tawa diiringi airmata dan penuh pengorbanan.
Entah, ini takdir atau apalah namanya. Pertemuanku dengannya yang bagiku merupakan awal hidup yang sebenarnya. Aku mengerti arti menjalani detik demi detik nafas dalam hidupku. Aku berjuang menjalani detik demi detik itu dan aku menghargai setiap detik itu hanya semenjak aku pertama memandang dan mengagumi keindahan yang secara alami terpancar bagai percikan cahaya mentari pagi. Akh, bagiku dia adalah jelmaan malaikat yang di utus dan turun ke bumi hanya untukku.
Dan kini malaikat itu akan selalu ada di sampingku. Dan aku selalu dapat menikmati keindahan cahaya cintanya dan kelembutuan sayap kasihnya. Satu kali lagi, HANYA UNTUKKU. Bahkan hingga saat aku telah meninggalkan dunia yang penuh dengan omong kosong ini. Aku akan tetap memeluk dan bersamanya.
Terdenger suara air saat ia mandi. Seluruh kamarku dipenuhi wangi semerbak tubuhnya. Bahkan aku terbuai dengan wangi itu aku tidak tau apakah ini masih di dunia entah apa sudah di surga.
Yang pasti aku menikmatinya.
“Mandi sana!”
Suara lembutnya menyadarkanku dari buaian itu.
“Iya.”
“Eh, kamu terlihat makin bersinar bahkan saat dengan hanya mengenakan handuk.”
“Haha…”
Ya, kecantikan dan keseksian kekasihku kian terpancar setelah ia mandi. Di tambah lagi senyuman yang telah kembali, hal yang menguatkan rasa cinta di hati.
“Ya udah, mandi gi! Biar segar.”
Aku mengecup kening kekasihku sambil lalu menuju kamar mandi yang masih menyisakan semerbak wangi malaikat hatiku. Dingin air yang menusuk tubuhku seolah terabaikan olehku. Buaian aroma sejuta tamanlah yang menguasai tubuhku.
Aku melihat kekasihku telah berbaring di tempat tidur. Aku langsung berbaring di sebelahnya, meski aku masih hanya mengenakan handuk.
“Sayang, malam ini kita Candle Light Dinner ya!”
“Udah lama kita tidak makan malam romantis.”
“Pokoknya semuanya akan ku atur.”
“Gimana?”
“Kamu mau makanan ala Prancis, atau Chines food aja?”
“Kok kamu diam aja sih?”
“Sayang!”
“Jawab dong,,,”
Aku mencoba memalingkan wajahku padanya. Akh, bukan ini yang ingin kulihat. Aku melihat wajahnya pucat pasi. Aku merasa bagai melihat bunga yang baru saja mekar telah kekeringan dan berguguran. Aku melihat sebuah taman yang seharusnya segar dan sangat subur menjadi sangat gersang.
“Haus…”
Kata yang terbata-bata dan sangat pelan ini terdengar olehku. Aku segera berlari mengambil air mineral dan mencob menyuapinya pada kekasihku. Meski pada akhirnya ia akan memuntahkannya lagi.
Aku mencoba menetuh tangannya. Aku terkejut dengan suhu tubuhnya yang sangat dingin. Dan diawali oleh getaran kecil, kini tubuh kekasihku kian bergetar hebat.
Aku telah mencoba menyuapinya air mineral tersebut lagi, lagi dan lagi namun tetap saja tertumpah dari mulutnya.
Aku kian panik. Entah harus melakukan apa. Yang aku tau kekasihku haus. Namun ia tidak mau minum. Hingga aku tersadar ia tidak membutuhkan air mineral. Ia membutuhkan darah. Selayaknya vampir-vampir yang lain.
Aku mencoba meraih pisau “sangkur” warisan dari ayahku dan merupakan barang kesayanganku dari dalam laci. Aku langsung menyayat nadi lengan kiriku. Satu buah sayatan yang sangat pasti dan tanpa keragu-raguan.
Dan segera darah segar mengalir deras dari tanganku. Aku mencoba menyodorkan tanganku kearah mulutnya, berharap ia akan menghisap setiap aliran darahku.
Aku merasakan cinta mengalir seiring darahku yang terus mengalir. Ku tumpahkan seluruh rasa cintaku bersamanya. Entah kekasihku meneguknya atau tidak, aku tak tau. Penglihatanku semakin samar, bahkan tiap detakan jangtungku membawaku kedalam keadaan yang kian lama kian tak sadar. Darah dari tangankupun seolah tak mau kalah dengan aliran cintaku.
Aku sempat melihat bantal dan tempat tidur yang di penuhi darahku, meski terlihat samar.
“Aku mencintaimu.”
Kalimat yang secara terbata-bata berusaha ku ucapkan. Hingga akhirnya penglihatanku membawaku kepada suatu kegelapan yang kian lama kian gelap. Dan entah apa yang terjadi kemudian. Aku tidak tau.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar